Rabu, 20 Agustus 2008

MENYIAPKAN ANAK DENGAN BERITA KEMATIAN

Kematian merupakan hal yang tak terhindarkan dan pasti dialami setiap orang, tetapi tak seorangpun mengetahui kapan waktu ini tiba. Menghadapi kematian orang terdekat merupakan hal yang tidak mudah, apalagi jika ia adalah tempat kita bergantung. Lebih sulit lagi jika kematian terjadi secara mendadak. Tak jarang terjadi orang terdekat menjadi shock, panik, atau trauma. Reaksi yang beragam menghadapi pengalaman ditinggalkan karena kematian mengingatkan orang tua untuk menyiapkan anak menghadapi kematian anggota keluarga atau orang-orang dekat di sekelilingnya. Selain itu berbagai musibah, bencana alam, maupun perkembangan penyakit yang terjadi beberapa tahun terakhir semakin meningkatkan urgensi untuk mengangkat tema ini dalam pembicaraan dengan anak.

Mengapa Tema Kematian Jarang Dibicarakan dengan Anak?
Pada sebagian keluarga, kematian merupakan salah satu bagian yang seringkali tidak diungkap dalam pembicaraan sehari-hari. Pada keluarga lain, bahkan tabu. Ditinggalkan orang yang dicintai karena kematian merupakan pengalaman terluka atau pengalaman yang pahit, dimana tak seorangpun suka untuk mengalaminya. Dan seperti juga pengalaman pahit lainnya, banyak orang merasa nyaman dengan menghindari tema pembicaraan ini. Pada beberapa orang dewasa dan orang tua, pembicaraan tentang kematian bahkan terasa ’mengancam’ karena tidak setiap orang merasa siap atau masih merasa takut untuk menghadapi kematian itu, sehingga membicarakan kematian dengan anak lebih tidak dimungkinkan. Selanjutnya, orang tua juga jarang mengungkap tema ini dengan anak sebagai usaha proteksi (melindungi) anak, baik melindungi anak supaya anak nyaman dengan keadaannya saat ini (berkumpul bersama orang tua dan sudara-saudaranya yang lain) dan anak tidak merasa takut dengan kemungkinan ditinggalkan.

Pentingnya Membicarakan Kematian dengan Anak
Pada dasarnya kita sebenarnya menyadari bahwa kematian adalah bagian yang tidak bisa dikontrol dan bisa datang kapan saja dan pada siapapun. Bagi orang yang meninggal, berakhirlah masa hidupnya, tetapi bagi yang ditinggalkan hidup harus terus berlanjut. Lepas dari kesedihan yang pasti akan menyertai kematian orang terdekat, kebesaran hati orang tua untuk menerima fakta kematian yang datang sewaktu-waktu adalah kunci penting. Dengan kebesaran hati ini lebih mudah bagi orang tua untuk berbicara dengan jujur pada anak tentang kematian.
Sedikit lebih mudah membicarakan kematian dengan anak ketika ada peristiwa kematian di lingkungan keluarga sebagai pembuka pembicaraan: kematian kakek atau neneknya, teman sekelasnya, atau hewan piararaan, atau tanaman di taman depan rumah. Namun orang tua tidak haras menunggu peristiwa ini terjadi untuk memulai berbicara pada anak. Anak haruslah tahu tentang kematian. Justru karena berita kematian akan berakibat munculnya perasaan sedih, tidak nyaman, atau kesepian, akan lebih mudah bagi anak untuk menghadapinya jika ia telah dipersiapkan sebelumnya. Di samping itu, jika anggota keluarga meninggal, orang tua biasanya sibuk dengan beberapa persiapan atau orang tua sendiri mengalami kesedihan sehingga mendampingi anak sepenuhnya kadang tidak memungkinkan. Oleh karenanya, menyiapkan anak dengan berita kematian sebelum terjadinya kematian yang sebenarnya, secara psikologis akan lebih menguntungkan bagi anak. Sebaliknya menghindari membicaraan tema ini kepada anak dengan alasan untuk melindungi anak tidaklah tepat, sebab dengan demikian orang tua tidak membekali anak dengan fakta dan realita yang sebenarnya tentang kehidupan.
Bagaimana Mengatakannya?
Usia anak merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengkomunikasikan kematian. Anak usia remaja atau praremaja sudah mulai mengenal konsep abstrak. Pada usia ini anak telah memahami adanya kehidupan setelah kematian atau berbagai akibat yang harus dialami bagi yang ditinggalkan. Berbicara dengan anak usia ini umumnya lebih mudah karena kebanyakan anak sudah pernah mengalami beberapa pengalaman berpisah dan ditinggalkan melalui kematian.
Pada anak yang lebih kecil, sekitar usia 6-10 tahun, pemahaman tentang kematian sangat dipengaruhi oleh sikap keluarga dan lingkungannya terhadap kematian. Bisa jadi kematian adalah sesuatu yang menakutkan, tetapi bisa juga ia adalah peristiwa yang netral dan wajar terjadi. Kemampuan berpikir yang sudah berkembang tetapi masih terbatas mungkin memunculkan berbagai pertanyaan yang bagi orang dewasa akan terdengar aneh, seperti ”kemana orang pergi setelah mati”, ”apakah di dalam kubur orang tidak akan takut karena gelap dan sendirian” dst.
Pada usia berapapun membicarakan kematian dengan anak hendaknya tidak menggunakan nuansa ketakutan, sehingga kematian bermakna positif bagi anak. Peristiwa hewan yang mati, daun yang gugur, orang menjadi tua, dapat menjadi cerita pembuka. Selain itu, berbagai buku cerita dan gambar dapat digunakan orang tua untuk menjelaskan bahwa kematian adalah peristiwa yang natural dan harus dipersiapkan setiap orang. Beberapa anak mungkin tidak mengajukan banyak pertanyaan sekaligus pada orang tua. Bagi orang tua, sikap yang menunjukkan kesediaan untuk mendengar pertanyaan apapun merupakan langkah awal yang penting. Jawablah pertanyaan anak dengan jujur dan sederhana. Jika kemudian anak datang kembali dan bertanya lagi, orang tua dapat memberikan jawaban yang lebih mendalam. Sebuah artikel menyatakan, jika pengalaman berduka selalu disimpan, anak akan menyimpulkan bahwa duka bukan perasaan yang harus diterima (” If grief is hidden, the child will think that grief is not an acceptable feeling

DETEKSI DINI GANGGUAN PERKEMBANGAN ANAK

Gangguan perkembangan masa anak adalah berbagai jenis masalah perkembangan yang potensial terjadi pada masa , yaitu usia anak 0-12 tahun. Pada dasarnya, tiap-tiap tahap perkembangan memiliki pontensi gangguan perkembangan yang berbeda-beda, tergantung pada tugas perkembangan yang diemban masing-masing usia. Pada usia bayi, misalnya, gangguan perkembangan yang potensial terjadi adalah gangguan pada perkembangan berbahasa, masalah terkait pertumbuhan fisik, dan bisa juga demam tinggi yang berisiko memunculkan gangguan lainnya. Pada usia sekolah di mana aktivitas anak mencapai puncaknya, sangat tinggi kemungkinan terjadinya kelelahan atau kecelakaan yang dapat menimbulkan gangguan perkembangan motorik.
Gangguan perkembangan lain yang banyak muncul pada masa anak antara lain: gangguan bicara, gangguan berbahasa, keterlambatan mental, autism, lambat belajar, ganguan pemusatan perhatian (attention deficit disorder), dan lain-lain.

Apa Pentingnya Deteksi Dini Gangguan Perkembangan?
Masa anak merupakan dasar pembentukan fisik dan kepribadian pada masa berikutnya. Dengan kata lain, masa anak merupakan masa emas mempersiapkan seorang individu menghadapi tuntutan jaman sesuai potensinya. Jika terjadi gangguan perkembangan, apapun bentuknya, deteksi yang dilakukan sedini mungkin merupakan kunci penting keberhasilan program intervensi yang dilakukan. Semakin dini gangguan perkembangan terdeteksi, semakin tinggi pula kemungkinan tercapainya tujuan intervensi atau koreksi atas gangguan yang terjadi.

Bagaimana Melakukan Deteksi Dini Gangguan Perkembangan Anak?
1. Kenali tugas perkembangan seusia usia anak Anda.
Tugas perkembangan adalah tugas-tugas yang harus dimiliki anak pada usia tertentu. Penilaian baik buruknya perkembangan anak tergantung pada tercapainya tuntutan atau tugas perkembangan sesuai usianya. Misalnya, tugas perkembangan masa bayi adalah merangkak, berdiri, berjalan (dalam hal perkembangan motorik), dan mengoceh, mengucapkan kata (perkembangan bahasa). Sementara itu tugas perkembangan masa kanak-kanak (3-6 tahun) adalah berkomunikasi dengan orang lain, belajar kemandirian, dan mempersiapkan diri masuk sekolah. Informasi tentang tugas perkembangan anak Anda dapat diperoleh dari buku-buku atau pengamatan terhadap anak lain yang seusia. Mengenali tugas perkembangan sesuai usia anak memungkinkan orang tua melakukan deteksi dini gangguan perkembangan.

2. Kenali pola dan irama perkembangan anak Anda
Secara universal anak memiliki pola (urutan) perkembangan yang sama. Meskipun memiliki pola yang sama, anak bisa memiliki irama (kecepatan) perkembangan yang berbeda dari anak lain. Anak anda mungkin mulai berbicara pada usia 14 bulan tetapi ia belum bisa berjalan tanpa bantuan, sementara anak lain dengan usia yang sama sudah mampu berjalan sendiri tetapi tidak mengucapkan kata-kata sebaik anak Anda. Pemenuhan tugas perkembangan merupakan patokan umum yang seharusnya dicapai dalam rentang usia tertentu. Memberi stimulasi pada anak memang perlu terus menerus dilakukan, tetapi jangan sampai orang tua memaksa anak untuk melakukan apa yang diharapkan orang tua. Yang lebih penting adalah mengenali adalah apakah anak Anda memenuhi pola yang normal meskipun kecepatannya bisa berbeda dengan anak lain.

3. Perluaslah wawasan tentang berbagai jenis gangguan perkembangan dan gejalanya.
Semakin baik dan akurat pengetahuan orang tua mengenai gejala dan ciri-ciri berbagai gangguan perkembangan, umumnya mereka akan semakin peka jika ciri-ciri serupa muncul pada anak. Berbagai sumber menyediakan informasi ini, baik buku, majalah, surat kabar, diskusi dan seminar, serta jasa konsultasi ahli. Jika Anda telah memiliki informasi seputar gangguan perkembangan tertentu, tularkanlah pengetahuan ini dengan orang tua lain sehingga antar orang tua dapat saling memperkaya. Pihak sekolah juga diharapkan dapat memberi peluang terjadinya transfer informasi tentang berbagai gangguan perkembangan anak.

4. Lakukan pencatatan serta pengamatan terhadap perkembangan anak dan perubahan dalam lingkungannya.
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan salah satu sarana memperoleh catatan perkembangan anak, khususnya anak di bawah usia 5 tahun. Sayangnya, aktivitas Posyandu selama ini sangat menitikberatkan perkembangan fisik (berat badan, imunisasi). Meskipun tidak dipungkiri bahwa perkembangan mental dan psikologis berpengaruh timbal balik secara erat dengan perkembangan fisik, namun perubahan dan gejala lain diluar perkembangan fisik, kurang mendapat perhatian (misalnya, perkembangan berbahasa, rentang konsentrasi, perkembangan motorik halus dan motorik kasar, dan sebagainya). Alangkah baiknya jika kader Posyandu juga memperoleh ketrampilan dan keahlian dasar menangani gangguan perkembangan masa anak.
Sebagai orang tua (maupun orang dewasa yang ada di sekitar anak) Anda wajib melakukan pengamatan terhadap perkembangan anak secara rutin. Jika anak diasuh oleh pengasuh sekalipun, doronglah pengasuh untuk melakukan pengamatan yang cermat seputar perkembangan buah hati Anda, di samping orang tua juga meluangkan waktu untuk melakukan hal yang sama. Hal-hal yang perlu diamati disesuaikan dengan tugas perkembangan di usianya dan kebiasaan masing-masing anak. Orang tua dan pengasuh perlu waspada jika terjadi perubahan pada anak, seperti: kembali mengompol pada usia seharusnya tidak mengompol, lebih banyak berdiam diri padahal ia biasa banyak bicara, kehilangan perbendaharaan kata yang sebelumnya sudah dimiliki. Waspadai pula jika anak tidak memenuhi ciri-ciri yang seharusnya dimiliki manusia umumnya atau anak seusianya,.
Sebaiknya perubahan perilaku, ciri yang tidak wajar, serta perubahan lingkungan pada saat gejala muncul (perubahan lokasi tempat tinggal, pindah sekolah, perceraian orang tua) dicatat dan menjadi bahan dalam konsultasi dengan ahli atau proses diagnosa selanjutnya.

5. Carilah informasi jika Anda mencurigai perubahan, kelambatan, atau perilaku yang nampaknya kurang wajar
Segera setelah Anda mencurigai perubahan, kelambatan, atau perilaku anak yang nampaknya kurang wajar, carilah informasi sebanyak mungkin baik dari pihak lain yang kompeten (dokter, psikolog, terapis) atau dari sumber media.

Ingat, masa anak adalah masa emas, oleh karenanya jangan lewatkan kesempatan yang tak dapat diulangi. Selamat memberi pengasuhan yang terbaik.

Jumat, 15 Agustus 2008

ANAK DAN KETAHANAN TERHADAP STRES

Apakah anak Anda mudah stress? Beberapa anak ditemukan memiliki kerentanan untuk menghadapi perubahan atau tekanan yang mereka hadapi. Namun tidak jarang pula, orang tua atau guru mengeluhkan anak-anak memerlukan penyesuaian diri yang lama terhadap situasi baru, atau anak yang trauma dengan pengalaman negative, seperti mendapat kehilangan sahabat, pindah rumah, nyaris tenggelam di kolam renang, menjadi korban bencana alam seperti gempa, dan sebagainya.

Apakah Arti Ketahanan Terhadap Stres?

Sumber stress, atau stressor, merupakan segala kondisi yang potensial memunculkan stress. Tingkat stress yang diakibatkan pada masing-masing peristiwa (stressor) bersifat sangat individual. Misalnya, anak yang orang tuanya bercerai memiliki reaksi yang berbeda-beda antara satu anak dengan anak yang lain. Ada yang cenderung tidak terlalu terganggu dan tetap mampu menjalankan aktivitas rutin sehari-hari, ada pula yang mengalami gangguan tidur, sulit makan, atau mendapat nilai jelek di sekolah. Hal ini terjadi karena masing-masing anak memiliki perbedaan pemaknaan terhadap situasi yang terjadi di hadapannya.Selain itu, reaksi orang dewasa di sekitar anak merupakan faktor yang tidak dapat dilepaskan dari reaksi anak itu sendiri. Seorang ibu yang tetap memberi perhatian yang memadai setelah terjadinya perceraian tentu akan menghambat stress yang lebih besar daripada ibu yang mengalami gangguan emosi yang cukup hebat.

Anak yang memiliki ketahanan stress (disebut juga resiliensi) adalah anak yang dapat tetap menjalankan fungsinya dengan baik meskipun ketika berada dalam tekanan, situasi sulit atau pengalaman traumatis. Maksud dari ‘menjalankan fungsinya’ adalah anak tetap mampu mengatur diri dan menjalankan rutinitas sehari-hari dan berkembang sebagaimana tugas perkembangannya dan tidak memunculkan gejala-gejala yang tidak wajar.

Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Anak terhadap Stres

Berbagai hal dapat memberi kontribusi terhadap ketahanan stress pada anak (dan juga pada orang dewasa). Seorang anak yang tahan terhadap stress umumnya adalah mereka yang memiliki keluarga yang hangat dan ank-anak ini merasa memiliki orang tua yang siap memberi dukungan. Jika Anda seorang ayah yang memiliki anak yang kehilangan sahabat, misal karena pindah rumah, hendaknya Anda menunjukkan pada anak bahwa ia boleh menangis di hadapan Anda dan tidak dihukum meskipun ia menjadi kehilangan nafsu makan. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak yang memiliki ketahanan tinggi terhadap stress cenderung memiliki hubungan yang baik dan ikatan emosi yang kuat dengan salah satu orang tuanya. Jika tidak, sebaiknya anak dekat dengan pengasuh, atau orang dewasa lain yang cukup kompeten menghadapi anak.

Tingginya kecerdasan ternyata juga berkait dengan tahan tidaknya seorang anak terhadap stress yang dialami. Pemrosesan informasi yang efektif bisa jadi menolong anak ini untuk mencari alternatif pemecahan masalah, mengatur perilaku, melindungi diri sendiri, dan belajar dari pengalaman.

Pengaruh lain yang juga sering protective factor adalah minimalnya factor risiko, dan pengalaman penyeimbang. Semakin sedikit faktor risiko yang dialami anak, semakin besar kemampuan anak untuk mengatasi stres yang dihadapi. Faktor risiko ini antara lain : perceraian orang tua, pengalaman tinggal di panti asuhan, ayah/ibu pelaku kriminal, ayah/ibu mengalami gangguan emosi. Sebaliknya, pengalaman yang positif akan menetralisir efek negative dari pengalaman traumatis anak. Guru yang ramah dan menyenangkan, lingkungan sekolah yang membuat anak nyaman, prestasi yang baik, atau penyaluran hobi di bidang musik, olah raga, atau seni, merupakan kompensasi yang efektif untuk membentuk anak dengan resiliensi yang tinggi.

Membentuk Anak dengan Ketahanan Tinggi terhadap Stres

Sejak anak masih kecil, orang tua dapat mendidik anak belajar menghadapi tekanan hidup. Kesempatan mengemukakan pendapat, meskipun pada usia dini, dapat menjadi awal yang baik. Di samping hubungan orang tua dengan anak menjadi lebih baik, hal ini juga akan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Jika anak berkelahi dengan teman sepermainannya, jangan buru-buru membela dia. Akan lebih bermanfaat mengajak anak memikirkan akibat apa saja yang dapat terjadi jika ia berkelahi. Biasakanlah anak untuk meminta maaf dan memaafkan. Anak dapat dilatih menyalurkan emosi negatif ke hal-hal positif. Akan lebih baik untuk meminimalkan factor risiko seperti disebutkan diatas. Tetapi jika tidak mungkin, meningkatkan factor penyeimbang merupakan ide cemerlang. Eksplorasi bakat dan minat anak, orang tua hendaklah lebih menghargai proses dan usaha anak daripada prestasi yang dicapainya. Anak yang memiliki ketahanan tinggi terhadap stress memiliki kepribadian yang ramah dan biasanya adalah mereka yang easygoing. Ajaklah anak untuk lebih menikmati kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Umumnya anak-anak ini juga kreatif (sehingga dapat menemukan sumber kebahagiaan di tempat lain secara positif), percaya diri (ia meyakini akan melewati masa sulit yang dihadapi), dan memiliki motivasi yang kuat (membuatnya terus bergairah menjalani hidup).

Perkembangan teknologi dan kemajuan jaman akan membawa konsekuensi munculnya stressor yang lebih majemuk dan kompleks. Ketahanan menghadapi stress akan semakin diperlukan di masa mendatang. Ingat, semakin dini kita mengembangkannya, semakin menetap dan semakin mudah pembentukannya.

SEKS BUKAN CUMA SOAL KELAMIN

Masih ingat gak kapan pertama kali kamu bicarain perihal seks? Masih ingat juga gak dengan siapa dan apa yang kamu bicarakan waktu itu?

Tema tentang seks nampaknya selalu menarik dibicarakan. Saya hampir yakin kamu punya paling tidak satu teman yang hobi bercanda ’yang nyerempet-nyerempet..” Saya pernah nanya (tepatnya kasih angket) kepada 83 orang mahasiswa UKSW dari 3 fakultas, dan saya temukan bahwa 21 (25%) saja yang belum pernah nonton VCD porno. Ini berarti 62 ’subjek’ saya pernah nonton, dan diantara 62 orang (75%) ini, 17 orang (27%) diantaranya nonton VCD porno sebelum usia 15 tahun.

Bisa nebak gak, reaksi apa yang paling sering dialami setelah nonton VCD porno? Hehe.. mungkin kamu benar.. 19 orang masturbasi, 14 terangsang.. 24 orang bilang biasa aja...

Seks Bukan Cuma Soal Kelamin

Seks bisa punya dua arti: (1) Seks sebagai identitas jenis kelamin (pria atau wanita) , dan (2) Seks dalam arti hubungan suami istri. Nah, istilah yang dekat dan terkait erat dengan seks adalah seksualitas. Seksualitas menyangkut topik yang lebih luas dari seks. Seksualitas bisa berarti identitas seksual (menjadi pria atau wanita), peran seksual (bagaimana membangun relasi dengan orang lain, menjadi feminin atau maskulin), orientasi seksual (pada siapa kita tertarik), perilaku seksual (bagaimana mengekspresikan seksualitas dalam hubungan dengan orang lain, baik sesama maupun lawan jenis), serta nilai seksual (apa yang kita percayai benar atau salah, dapat diterima atau tidak dapat diterima, apa yang boleh dan tidak boleh).

Masters bilang (dia salah satu tokoh seksualitas), seks itu nukleus dari keluarga. Keren juga kalimat pak Masters ini Tapi bener juga ya.. Seks adalah nukleus atau inti keluarga. Kalo dipikir-pikir.. kita semua gak bakalan ada di dunia ini kalo gak ada yang namanya seks dan seksualitas. Tapi arti kalimat itu juga adalah bahwa nilai yang kita miliki tentang seks akan berdampak pada jadi apa masyarakat kita nanti.

Contohnya begini:

Anggap aja kita tinggal di daerah dengan angka pelacuran tertinggi di Indonesia, dimana kasus seks pranikah–nya terus meningkat, demikian juga dengan kasus seks extra- marital (hubungan seks dengan orang yang bukan istri/suaminya). Bisa bayangin gak, jadi apa anak-anak yang tinggal di situ, nilai-nilai apa yang mereka miliki kelak, dan apa yang diobrolin sesama tetangga...

Wah.. ngeri juga bayanginnya.. Tapi, kalo kita mau jujur, kasus-kasus pelanggaran seksualitas (seperti seks pra nikah, perselingkuhan seksual, kehamilan di luar nikah) makin banyak terjadi dalam lingkungan kita. Data YLKI (2004) menyebutkan, diantara 2 juta dari aborsi, 700 ribu dilakukan oleh remaja

Seks = Maha Karya

Kenyataan diatas merupakan suatu ironi jika kita menengok kembali ’asal muasal’ seksualitas. Setiap orang (umumnya) pasti setuju bahwa seksualitas merupakan anugrah bagi manusia. Di dalamnya terkandung tujuan reproduksi, regenerasi, rekreasi, dan sarana pengikat emosi yang ampuh antar suami istri. Dengan fungsi yang begitu penting dan bernilai tinggi, tentulah seksualitas seharusnya indah. Organ-organ seks manusia yang menjadi sarana tercapainya fungsi tersebut, disediakan sangat rinci, khas, dan penuh misteri oleh Sang Pencipta. Semakin kita memikirkan dan merenungkannya, kita akan merasakan seksualitas sebagai suatu Maha Karya. Richard Foster, salah satu penulis favorit saya pernah menulis, ”salah satu tragedi dalam sejarah manusia adalah diceraikannya seksualitas dari spiritualitas”. Pornografi, pelecehan seksual, hubungan seks sebelum menikah, adalah tempat-tempat dimana seksualitas sebagai sebuah Maha Karya itu direndahkan posisinya dan tujuannya yang baik ditiadakan. Seks direduksi menjadi sesuatu yang sepele dan banyak orang membatasinya hanya pada alat kelamin saja.

Kalau benar kita sedang berda dalam pusaran kehancuran nilai seksual yang semakin memburuk, kapan lagi memperbaikinya kalo bukan sekarang? Siapa lagi yang harus memulainya kalo bukan diri sendiri? Pengen punya masyarakat yang lebih baik? Milikilah nilai-nilai dan sikap seksual yang benar dan tebarkan nilai yang benar itu pada teman-teman di sekelilingmu.

-yun,2008-

MASA ANAK, MASA EMAS PENGARUH IDOLA

“Alkisah suatu hari, sebuah negara hendak mencari seorang calon permaisuri untuk raja muda mereka. Ditetapkanlah satu deret kriteria calon ratu. Yang pertama tentu saja cantik dan berpenampilan menarik. Selanjutnya ia harus ramah dan mampu berkomunikasi dengan rakyatnya”.

Penggalan cerita di atas adalah imajinasi saya belaka, namun saya yakin jalan cerita demikian sangat wajar dan mudah ditemukan dalam cerita atau dongeng yang sering didengar anak. Adakah yang salah dengan cerita tersebut?

Penekanan Berlebih Pada Penampilan

Dalam keberagaman cara dan fitur permainan (termasuk cerita) anak, ekspose peran tampilan luar nampaknya semakin menggejala. Hal ini nampak dari penekanan model yang menjadi tokoh utama baik dalam cerita, film, sinetron, atau acara televisi yang ditujukan bagi anak.

Ambilllah contoh tayangan anak di televisi. Sinetron remaja di televisi Indonesia nyaris tidak pernah menampilkan tokoh yang tidak cakep, cantik, berbaju stylish (ala budaya pop). Dalam salah satu acara favorit yang sedang digemari anak dan keluarga,

yaitu Idola Cilik dan Idola Cilik Seleb misalnya, semua penyanyi ciliknya menyanyikan lagu orang dewasa, dan kadang kala menggunakan kostum panggung dan tata rias yang sangat mirip orang dewasa.

Contoh lain adalah berbagai ajang kompetisi anak yang lain: menggambar, fashion show, balita sehat, dan lain-lain. Keinginan orang tua supaya anak tampil sempurna dan menjadi pemenang seringkali mengorbankan kepentingan anak untuk merasa happy, menikmati apa yang dikerjakan, dan belajar dari proses (bukan hanya pada kalah atau menang).

Peran Model dan Internalisasi Nilai

Model adalah idola. Idola adalah ideal. Jadi model adalah ideal. Model yang terpapar pada kanak melalui apa yang mereka lihat maupun apa yang mereka dengar cenderung akan memberi dasar imitasi bagi anak. Anak adalah peniru yang baik, dan mereka akan menirukan perilaku model, berusaha menjadi seperti model, bahkan seolah merasakan apa yang dialami model.

Bagi anak, model bisa orang tua, guru, teman, dan tokoh idola mereka (nyata mupun tidak nyata). Model yang baik akan memberi pengaruh baik, dan sebaliknya.

Pada akhirnya, efek model tidak hanya berhenti pada perilaku yang kasat mata, namun juga nilai-nilai yang dimiliki model akan terinternalisasi oleh anak.

Diantara model yang tersedia bagi anak, orang tua adalah model yang penting bagi anak, karena dari orangtua-lah anak melihat contoh paling konkrit, paling dekat, dan paling intens dengan mereka. Banyak anak bersikap mirip ibu atau ayahnya bukan karena masalah genetis, tetapi lebih pada peniruan dan imitasi. Sikap yang semula merupakan peniruan akhirnya terinternalisiasi dan menjadi milik anak. Demikian juga nilai-nilai yang dianut orang tua akan diterima, dihayati, dan akhirnya diinternalisiasi menjadi tata nilai anak.

Ketika orang tua menunjukkan sikap ’harus menang’, anak akan belajar bahwa kemenanganlah yang harus dikejar, dan kekalahan adalah kegagalan. Jika sikap ini akhirnya menjelma menjadi pola perilaku, anak akan beruapaya menang, menang, dan menang, tanpa peduli bagaimana caranya meraih kemenangan itu.

Pada kasus tayangan Idola Cilik, si penyanyi cilik adalah model bagi penonton usia sebayanya. Sebagai model, mereka menjadi fokus perhatian penonton. Sebagai model pula, mereka dituntut (dan akhirnya menuntur diri) tampil sempurna, dengan kecenderungan bahwa kriteria ‘sempurna’ yang menjadi acuan adalah kriteria orang dewasa. Selanjutnya model yang seharusnya sempurna ini, menjadi pantang untuk kalah, seolah dilarang untuk tidak menang. Seperti sering kita lihat, anak yang kalah dalam aneka lomba (Idola Cilik atau aneka lomba lainnya) tampak sangat kecewa, menangisi kegagalannya. Begitu juga para penggemar, seiring dengan kekalahan sang idola, runtuh pula kebanggaan dan harapan mereka. Bisa jadi sebagian penggemar ini adalah anggota keluarga sang idola, tapi banyak juga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sang idola. Bagaimanapun, kekecewaan idola menjadi keprihatinan seluruh penggemar. Hal ini adalah salah satu contoh bagaimana orang dewasa seringkali menempatkan anak dalam urutan ranking yang lebih berakibat mengkotak-kotakkan anak daripada menghargainya sebagai anak yang dicintai. Ironisnya, urutan ini semata-mata ditetapkan berdasar perhitungan sms yang menguntungkan pihak sponsor.

Dalam kasus inipun anak akan ’belajar’ untuk mengerti bahwa dunia tempat ia hidup adalah dunia kompetisi, bukan dunia yang berbagi, jika orang dewasa di sekitarnya terlalu memberi penghargaan terhadap penampilan atau terhadap makna ’menang’.

Contoh yang Timpang

Sabine Wilhelm, dalam buku berjudul ’Feeling Good about The Way You Look’. menyatakan bahwa seseorang kuatir dengan penampilannya karena ia membangun asumsi-asumsi dan lambat laun memiliki pola pikir yang cenderung perifer (tidak mendalam), seperti: “penampilanku lebih penting daripada kepribadianku, ketrampilanku, dan kemampuanku”. Pernyataan ini sekaligus mengungkapkan bahwa diperlukan karakter personal yang lebih teguh untuk meyakini bahwa kepribadian, kemampuan, ketrampilan (dengan catatan, semua ini tidak dapat terlihat oleh mata secara langsung) selalu lebih baik untuk selalu diutamakan daripada penampilan saja. Bukankah dengan memberi anak model yang menekankan penampilan tidak akan cukup membekalinya dengan kebutuhan lain yang lebih penting? Bukankah kemenangan yang sesungguhnya telah diraih anak ketika ia berani menyanyikan lagu yang ia pahami artinya dan dapat dijiwainya meskipun bukan menjadi ‘juara’?

Keluhan yang sering dikemukakan para guru dan orang tua masa kini adalah makin minimnya kemampuan remaja untuk peduli terhadap orang lain. Menurut teori Erik Erikson, masa remaja ditandai periode penting (atau kritis) yang bercirikan penemuan identitas. Dalam pengamatan saya, semakin jarang remaja yang menemukan arah dan tujuan hidupnya meskipun ia telah berada di akhir usia belasan. Hal ini merupakan indikasi tidak tercapainya penemuan identitas pada masa remaja. Sebaliknya, remaja sangat sibuk untuk memiliki penampilan luar dan kesan terbaik yang bisa mereka pancarkan pada orang lain. Caranya antara lain berusaha tampil secantik dan secakep mungkin, atau berusaha menjadi ‘yang menang’ bagaimanapun caranya.

Perkembangan remaja seperti ini terkait erat dengan pembelajaran masa anak, pada akhirnya, perilaku yang sikap yang biasa dilakukan akan menjadi sistem tata nilai yang lebih stabil pada perkembangan selanjutnya.

Ekspose tayangan anak dan remaja yang mengutamakan penampilan luar tidak sebanding dengan sumber-sumber lain yang mengutamakan nilai menghormati orang lain, nilai percaya pada usaha dan bukan sekedar hasil akhir, dan nilai positif lainnya. Akibatnya, kita sekarang memiliki generasi yang rentan untuk menjadi kuatir pada hal-hal yang perifer daripada aspek lain yang lebih mendasar. Bagaimana dengan anak dan remaja kita di masa depan? Baiklah kita menyusun cerita baru, demikian:

“Alkisah suatu hari, sebuah negara hendak mencari seorang calon permaisuri untuk raja muda mereka. Ditetapkanlah satu deret kriteria calon ratu, Yang pertama tentu saja ia harus mencintai rakyatnya. Ia tidak harus cantik asalkan ia akan peduli dan berusaha memberi yang terbaik bagi kebutuhan rakyat”.