Jumat, 15 Agustus 2008

MASA ANAK, MASA EMAS PENGARUH IDOLA

“Alkisah suatu hari, sebuah negara hendak mencari seorang calon permaisuri untuk raja muda mereka. Ditetapkanlah satu deret kriteria calon ratu. Yang pertama tentu saja cantik dan berpenampilan menarik. Selanjutnya ia harus ramah dan mampu berkomunikasi dengan rakyatnya”.

Penggalan cerita di atas adalah imajinasi saya belaka, namun saya yakin jalan cerita demikian sangat wajar dan mudah ditemukan dalam cerita atau dongeng yang sering didengar anak. Adakah yang salah dengan cerita tersebut?

Penekanan Berlebih Pada Penampilan

Dalam keberagaman cara dan fitur permainan (termasuk cerita) anak, ekspose peran tampilan luar nampaknya semakin menggejala. Hal ini nampak dari penekanan model yang menjadi tokoh utama baik dalam cerita, film, sinetron, atau acara televisi yang ditujukan bagi anak.

Ambilllah contoh tayangan anak di televisi. Sinetron remaja di televisi Indonesia nyaris tidak pernah menampilkan tokoh yang tidak cakep, cantik, berbaju stylish (ala budaya pop). Dalam salah satu acara favorit yang sedang digemari anak dan keluarga,

yaitu Idola Cilik dan Idola Cilik Seleb misalnya, semua penyanyi ciliknya menyanyikan lagu orang dewasa, dan kadang kala menggunakan kostum panggung dan tata rias yang sangat mirip orang dewasa.

Contoh lain adalah berbagai ajang kompetisi anak yang lain: menggambar, fashion show, balita sehat, dan lain-lain. Keinginan orang tua supaya anak tampil sempurna dan menjadi pemenang seringkali mengorbankan kepentingan anak untuk merasa happy, menikmati apa yang dikerjakan, dan belajar dari proses (bukan hanya pada kalah atau menang).

Peran Model dan Internalisasi Nilai

Model adalah idola. Idola adalah ideal. Jadi model adalah ideal. Model yang terpapar pada kanak melalui apa yang mereka lihat maupun apa yang mereka dengar cenderung akan memberi dasar imitasi bagi anak. Anak adalah peniru yang baik, dan mereka akan menirukan perilaku model, berusaha menjadi seperti model, bahkan seolah merasakan apa yang dialami model.

Bagi anak, model bisa orang tua, guru, teman, dan tokoh idola mereka (nyata mupun tidak nyata). Model yang baik akan memberi pengaruh baik, dan sebaliknya.

Pada akhirnya, efek model tidak hanya berhenti pada perilaku yang kasat mata, namun juga nilai-nilai yang dimiliki model akan terinternalisasi oleh anak.

Diantara model yang tersedia bagi anak, orang tua adalah model yang penting bagi anak, karena dari orangtua-lah anak melihat contoh paling konkrit, paling dekat, dan paling intens dengan mereka. Banyak anak bersikap mirip ibu atau ayahnya bukan karena masalah genetis, tetapi lebih pada peniruan dan imitasi. Sikap yang semula merupakan peniruan akhirnya terinternalisiasi dan menjadi milik anak. Demikian juga nilai-nilai yang dianut orang tua akan diterima, dihayati, dan akhirnya diinternalisiasi menjadi tata nilai anak.

Ketika orang tua menunjukkan sikap ’harus menang’, anak akan belajar bahwa kemenanganlah yang harus dikejar, dan kekalahan adalah kegagalan. Jika sikap ini akhirnya menjelma menjadi pola perilaku, anak akan beruapaya menang, menang, dan menang, tanpa peduli bagaimana caranya meraih kemenangan itu.

Pada kasus tayangan Idola Cilik, si penyanyi cilik adalah model bagi penonton usia sebayanya. Sebagai model, mereka menjadi fokus perhatian penonton. Sebagai model pula, mereka dituntut (dan akhirnya menuntur diri) tampil sempurna, dengan kecenderungan bahwa kriteria ‘sempurna’ yang menjadi acuan adalah kriteria orang dewasa. Selanjutnya model yang seharusnya sempurna ini, menjadi pantang untuk kalah, seolah dilarang untuk tidak menang. Seperti sering kita lihat, anak yang kalah dalam aneka lomba (Idola Cilik atau aneka lomba lainnya) tampak sangat kecewa, menangisi kegagalannya. Begitu juga para penggemar, seiring dengan kekalahan sang idola, runtuh pula kebanggaan dan harapan mereka. Bisa jadi sebagian penggemar ini adalah anggota keluarga sang idola, tapi banyak juga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan sang idola. Bagaimanapun, kekecewaan idola menjadi keprihatinan seluruh penggemar. Hal ini adalah salah satu contoh bagaimana orang dewasa seringkali menempatkan anak dalam urutan ranking yang lebih berakibat mengkotak-kotakkan anak daripada menghargainya sebagai anak yang dicintai. Ironisnya, urutan ini semata-mata ditetapkan berdasar perhitungan sms yang menguntungkan pihak sponsor.

Dalam kasus inipun anak akan ’belajar’ untuk mengerti bahwa dunia tempat ia hidup adalah dunia kompetisi, bukan dunia yang berbagi, jika orang dewasa di sekitarnya terlalu memberi penghargaan terhadap penampilan atau terhadap makna ’menang’.

Contoh yang Timpang

Sabine Wilhelm, dalam buku berjudul ’Feeling Good about The Way You Look’. menyatakan bahwa seseorang kuatir dengan penampilannya karena ia membangun asumsi-asumsi dan lambat laun memiliki pola pikir yang cenderung perifer (tidak mendalam), seperti: “penampilanku lebih penting daripada kepribadianku, ketrampilanku, dan kemampuanku”. Pernyataan ini sekaligus mengungkapkan bahwa diperlukan karakter personal yang lebih teguh untuk meyakini bahwa kepribadian, kemampuan, ketrampilan (dengan catatan, semua ini tidak dapat terlihat oleh mata secara langsung) selalu lebih baik untuk selalu diutamakan daripada penampilan saja. Bukankah dengan memberi anak model yang menekankan penampilan tidak akan cukup membekalinya dengan kebutuhan lain yang lebih penting? Bukankah kemenangan yang sesungguhnya telah diraih anak ketika ia berani menyanyikan lagu yang ia pahami artinya dan dapat dijiwainya meskipun bukan menjadi ‘juara’?

Keluhan yang sering dikemukakan para guru dan orang tua masa kini adalah makin minimnya kemampuan remaja untuk peduli terhadap orang lain. Menurut teori Erik Erikson, masa remaja ditandai periode penting (atau kritis) yang bercirikan penemuan identitas. Dalam pengamatan saya, semakin jarang remaja yang menemukan arah dan tujuan hidupnya meskipun ia telah berada di akhir usia belasan. Hal ini merupakan indikasi tidak tercapainya penemuan identitas pada masa remaja. Sebaliknya, remaja sangat sibuk untuk memiliki penampilan luar dan kesan terbaik yang bisa mereka pancarkan pada orang lain. Caranya antara lain berusaha tampil secantik dan secakep mungkin, atau berusaha menjadi ‘yang menang’ bagaimanapun caranya.

Perkembangan remaja seperti ini terkait erat dengan pembelajaran masa anak, pada akhirnya, perilaku yang sikap yang biasa dilakukan akan menjadi sistem tata nilai yang lebih stabil pada perkembangan selanjutnya.

Ekspose tayangan anak dan remaja yang mengutamakan penampilan luar tidak sebanding dengan sumber-sumber lain yang mengutamakan nilai menghormati orang lain, nilai percaya pada usaha dan bukan sekedar hasil akhir, dan nilai positif lainnya. Akibatnya, kita sekarang memiliki generasi yang rentan untuk menjadi kuatir pada hal-hal yang perifer daripada aspek lain yang lebih mendasar. Bagaimana dengan anak dan remaja kita di masa depan? Baiklah kita menyusun cerita baru, demikian:

“Alkisah suatu hari, sebuah negara hendak mencari seorang calon permaisuri untuk raja muda mereka. Ditetapkanlah satu deret kriteria calon ratu, Yang pertama tentu saja ia harus mencintai rakyatnya. Ia tidak harus cantik asalkan ia akan peduli dan berusaha memberi yang terbaik bagi kebutuhan rakyat”.

Tidak ada komentar: