Rabu, 20 Agustus 2008

MENYIAPKAN ANAK DENGAN BERITA KEMATIAN

Kematian merupakan hal yang tak terhindarkan dan pasti dialami setiap orang, tetapi tak seorangpun mengetahui kapan waktu ini tiba. Menghadapi kematian orang terdekat merupakan hal yang tidak mudah, apalagi jika ia adalah tempat kita bergantung. Lebih sulit lagi jika kematian terjadi secara mendadak. Tak jarang terjadi orang terdekat menjadi shock, panik, atau trauma. Reaksi yang beragam menghadapi pengalaman ditinggalkan karena kematian mengingatkan orang tua untuk menyiapkan anak menghadapi kematian anggota keluarga atau orang-orang dekat di sekelilingnya. Selain itu berbagai musibah, bencana alam, maupun perkembangan penyakit yang terjadi beberapa tahun terakhir semakin meningkatkan urgensi untuk mengangkat tema ini dalam pembicaraan dengan anak.

Mengapa Tema Kematian Jarang Dibicarakan dengan Anak?
Pada sebagian keluarga, kematian merupakan salah satu bagian yang seringkali tidak diungkap dalam pembicaraan sehari-hari. Pada keluarga lain, bahkan tabu. Ditinggalkan orang yang dicintai karena kematian merupakan pengalaman terluka atau pengalaman yang pahit, dimana tak seorangpun suka untuk mengalaminya. Dan seperti juga pengalaman pahit lainnya, banyak orang merasa nyaman dengan menghindari tema pembicaraan ini. Pada beberapa orang dewasa dan orang tua, pembicaraan tentang kematian bahkan terasa ’mengancam’ karena tidak setiap orang merasa siap atau masih merasa takut untuk menghadapi kematian itu, sehingga membicarakan kematian dengan anak lebih tidak dimungkinkan. Selanjutnya, orang tua juga jarang mengungkap tema ini dengan anak sebagai usaha proteksi (melindungi) anak, baik melindungi anak supaya anak nyaman dengan keadaannya saat ini (berkumpul bersama orang tua dan sudara-saudaranya yang lain) dan anak tidak merasa takut dengan kemungkinan ditinggalkan.

Pentingnya Membicarakan Kematian dengan Anak
Pada dasarnya kita sebenarnya menyadari bahwa kematian adalah bagian yang tidak bisa dikontrol dan bisa datang kapan saja dan pada siapapun. Bagi orang yang meninggal, berakhirlah masa hidupnya, tetapi bagi yang ditinggalkan hidup harus terus berlanjut. Lepas dari kesedihan yang pasti akan menyertai kematian orang terdekat, kebesaran hati orang tua untuk menerima fakta kematian yang datang sewaktu-waktu adalah kunci penting. Dengan kebesaran hati ini lebih mudah bagi orang tua untuk berbicara dengan jujur pada anak tentang kematian.
Sedikit lebih mudah membicarakan kematian dengan anak ketika ada peristiwa kematian di lingkungan keluarga sebagai pembuka pembicaraan: kematian kakek atau neneknya, teman sekelasnya, atau hewan piararaan, atau tanaman di taman depan rumah. Namun orang tua tidak haras menunggu peristiwa ini terjadi untuk memulai berbicara pada anak. Anak haruslah tahu tentang kematian. Justru karena berita kematian akan berakibat munculnya perasaan sedih, tidak nyaman, atau kesepian, akan lebih mudah bagi anak untuk menghadapinya jika ia telah dipersiapkan sebelumnya. Di samping itu, jika anggota keluarga meninggal, orang tua biasanya sibuk dengan beberapa persiapan atau orang tua sendiri mengalami kesedihan sehingga mendampingi anak sepenuhnya kadang tidak memungkinkan. Oleh karenanya, menyiapkan anak dengan berita kematian sebelum terjadinya kematian yang sebenarnya, secara psikologis akan lebih menguntungkan bagi anak. Sebaliknya menghindari membicaraan tema ini kepada anak dengan alasan untuk melindungi anak tidaklah tepat, sebab dengan demikian orang tua tidak membekali anak dengan fakta dan realita yang sebenarnya tentang kehidupan.
Bagaimana Mengatakannya?
Usia anak merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam mengkomunikasikan kematian. Anak usia remaja atau praremaja sudah mulai mengenal konsep abstrak. Pada usia ini anak telah memahami adanya kehidupan setelah kematian atau berbagai akibat yang harus dialami bagi yang ditinggalkan. Berbicara dengan anak usia ini umumnya lebih mudah karena kebanyakan anak sudah pernah mengalami beberapa pengalaman berpisah dan ditinggalkan melalui kematian.
Pada anak yang lebih kecil, sekitar usia 6-10 tahun, pemahaman tentang kematian sangat dipengaruhi oleh sikap keluarga dan lingkungannya terhadap kematian. Bisa jadi kematian adalah sesuatu yang menakutkan, tetapi bisa juga ia adalah peristiwa yang netral dan wajar terjadi. Kemampuan berpikir yang sudah berkembang tetapi masih terbatas mungkin memunculkan berbagai pertanyaan yang bagi orang dewasa akan terdengar aneh, seperti ”kemana orang pergi setelah mati”, ”apakah di dalam kubur orang tidak akan takut karena gelap dan sendirian” dst.
Pada usia berapapun membicarakan kematian dengan anak hendaknya tidak menggunakan nuansa ketakutan, sehingga kematian bermakna positif bagi anak. Peristiwa hewan yang mati, daun yang gugur, orang menjadi tua, dapat menjadi cerita pembuka. Selain itu, berbagai buku cerita dan gambar dapat digunakan orang tua untuk menjelaskan bahwa kematian adalah peristiwa yang natural dan harus dipersiapkan setiap orang. Beberapa anak mungkin tidak mengajukan banyak pertanyaan sekaligus pada orang tua. Bagi orang tua, sikap yang menunjukkan kesediaan untuk mendengar pertanyaan apapun merupakan langkah awal yang penting. Jawablah pertanyaan anak dengan jujur dan sederhana. Jika kemudian anak datang kembali dan bertanya lagi, orang tua dapat memberikan jawaban yang lebih mendalam. Sebuah artikel menyatakan, jika pengalaman berduka selalu disimpan, anak akan menyimpulkan bahwa duka bukan perasaan yang harus diterima (” If grief is hidden, the child will think that grief is not an acceptable feeling

Tidak ada komentar: